Proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCIC) atau Whoosh kembali menuai sorotan. Gerakan Rakyat menilai proyek yang digagas di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tersebut bukan hanya ambisius, tetapi juga telah menjadi beban keuangan jangka panjang bagi negara.
Anggota Dewan Pakar Gerakan Rakyat, Nandang Sutisna, menyebut proyek tersebut sarat persoalan dan patut diusut secara menyeluruh. Menurutnya, terlalu banyak indikasi bahwa proyek ini dijadikan ladang politik sekaligus berpotensi menjadi ruang bancakan yang merugikan keuangan negara.
“Whoosh bukan sekadar salah arah secara ekonomi, tetapi juga meninggalkan jejak utang dan potensi kerugian yang sangat besar. Jokowi harus bertanggung jawab atas keputusan yang tergesa-gesa dan tidak matang,” ungkap Nandang, Sabtu (25/10/2025).
Ia menjelaskan, total biaya proyek KCIC diperkirakan mencapai USD 7,27 miliar atau sekitar Rp120 triliun, termasuk pembengkakan anggaran (cost overrun). Setelah memperhitungkan bunga pinjaman dan restrukturisasi utang ke Tiongkok, beban negara diperkirakan mampu menembus lebih dari Rp130 triliun.
Lebih jauh, Nandang menyoroti skema pembayaran utang yang bisa berlangsung hingga 60 tahun. Dalam kondisi ini, masyarakat Indonesia akan terus membayar cicilan utang meskipun kereta cepat itu sendiri sudah tidak lagi layak pakai.
“Kondisi ini sangat ironis. Kita akan membayar cicilan ketika rel dan armadanya telah usang. Ini menunjukkan buruknya perencanaan kebijakan publik di masa pemerintahan Jokowi,” kritiknya.
Ia menilai skema restrukturisasi 60 tahun bukanlah bentuk penyelamatan finansial, melainkan pengalihan beban dari satu generasi ke generasi berikutnya yang justru dapat memperparah kondisi fiskal negara.
“Ini bukan solusi. Ini sekadar menunda masalah dan mewariskannya kepada anak cucu kita,” tambahnya.
Gerakan Rakyat juga meragukan klaim proyek KCIC sebagai transportasi strategis. Menurut mereka, manfaat yang diperoleh masyarakat tidak sebanding dengan biaya yang harus ditanggung negara.
“Ketika masih banyak jalan dan jembatan rusak di daerah, menghabiskan ratusan triliun demi kereta cepat adalah kesalahan dalam menentukan prioritas pembangunan,” kata Nandang.
Sebagai bentuk sikap tegas, Gerakan Rakyat mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) serta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menelusuri dugaan penyimpangan, mulai dari proses perencanaan hingga eksekusi proyek.
“Jokowi tidak bisa sekadar melepaskan tanggung jawab. Sebagai pemegang keputusan utama, ia wajib menjelaskan dan mempertanggungjawabkan ini secara politik maupun hukum,” tegas Nandang.
